Friday, May 23, 2008

SENGKETA MASYARAKAT, NEGARA DAN PEMERINTAH KOTA DAN PEMERINTAH KABUPATEN TERHADAP LAHAN ASSETS NEGARA

Oleh Tamrin Kiram

Persengketaan antara masyarakat dengan negara dalam persoalan perebutan eks lahan-lahan negara menjadi fenomena sosial dan politik di Indonesia yang sering menjurus kepada tindak kekerasan anatara paratur negara dengan masyarakat yang menuntut pengambilalihan assets negara tersebut menjadi hak milik mereka. Persengketaan tersebut menjadi fenomena sosial pada saat hak milik negara tersebut dianggab masyarakat sebagai pendudukaan terhadap laha-lahan milik mereka, dan dianggab sebagai fenomena politik jika hal tersebut menyangkut otoritas politik pemilikan lahan tersebut. Fenomena tersebut juga terjadi di Sumater Barat melalui upaya tuntutan pengakuan otoritas politik pemilikan nagari terhadap lahan yang telah dikembangkan menjadi sebuah kota madya, serta pemngembalian eks lahan pertambangan dan perkebunan yang dikelola negara menjadi lahan milik masyarakat.

Menurut Rusdi Lubis, mantan Sekdaprov Sumbar terdapat beberapa kota madya di Sumatera Barat dari hasil pengembangan nagari, diantaranya Kodya Bukittinggi, dan Kodya Solok. Fenomena sosial dan politik dari kodaya hasil pengembangan nagari tersebut adalah tuntutan pengakuan terhadap otoritas kepemilikan anak nagari terhadap kodya hasil pengembangan nagari tersebut, setidaknya hal ini terjadi di kodya Sawahlunto. Istilah anak nagari menurut Rusdi mengandung pengertian keterikatan emosional antara warga negari tersebut dengan nagari asal mereka, meskipun anak nagari tersebut sudah menjadi warga masyarakat di nagari atau temnpat lain, tetapi keterikatan anak nagari terhadap nagari mereka ttetap berlangsung seumur hidup.

Tuntutan kembali ke nagari yang digulirkan sejak reformasi dan otonomi daerah tidak hanya mengembalikan identitas anak nagari sebagai warga nagari asal usul mereka, tetapi juga ingin mengembalikan struktural asli masyarakat dan pemerintahan nagari tersebut. Masyarakat kanagarian Kubang di Kodya Solok sebagai penduduk asli pemilik lahan di Kodya Sawahlunto, termasuk lahan pasar melalui semangat kembali ka nagari ini menuntut Pemko Sawahlunto untuk mengakui keberadaan pemilikan lahan yang terdapat di Kodya Sawahlunto tersebut kepada masyarakat mereka.

Menurut Rusdi hak pemilikan lahan di Kodya Sawahlunto sesungguhnya berada di pihak PT Bukit Asam (BA) sebagai Perusahaan Negara (BUMN) hasil dari pengembangan Pertambangan PT Batang Ombilin, assets tersebut merupakan assets negara yang diperoleh dari hasil hibah (penyerahan sukarela) masyarakat asli melalui pemuka masyarakat mereka terhadap negara untuk mengelola lahan tersebut menjadi areal daerah pertambangan batu baran. Otoritas PT BA terhadap lahan tersebut lebih besar daripada otoritas Pemko Swahlunto sendiri, sebagaimana yang dijelaskan oleh Rusi bahwa untuk pendirian kantor Walikota Kodya Sawahlunto pihak Pemda harus meminta kerelaan para Direktur Utama (Dirut) PT BA untuk menyerahkan sebahagian lahan PT BA untuk dijadikan sebagai lokasi pendirian kantor Walikota Kodya Sawahlunto.

Peranan Pemko di Kodya Sawahlunto hanyalah sebagai tenaga adminsitrasi terhadap pelayanan publik, seperti pembuatan KTP, sedangkan assets pelayanan publik lainnya seperti rumah sakit, puskesmas semuanya berada dibawah kewenangan pemilikan PT BA. Habisnya persediaan batubara yang bisa dieksplorasi di PT BA Sawahlunto menjadikan lahan bekas pertambangan yang menjadi assets negara tersebut menjadi lahan persengketaan perebutan hak pemilikan antara masyarakat Kubang sebagai penduduk asli pemilik lahan tersebut dengan Pemko Kodya Sawahlunto, semangat hidup kembali ka nagari serta semangat desentralisasi dan otonomi daerah merupakan dua alasan utama yang mendorong pemuka masyarakat maupun Pemko Kodya Sawahlunto untuk memperoleh pengakuan pemilikan terhadap lahan negara bekas pertambangan batubara tersebut.

Hal yang sama juga terjadi pada pengelolaan bekas lahan negara di areal perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Pasaman, lahan tersebut merupakan assets negara yang diperoleh melalui penyerahan lahan masyarakat melalui ninik mamak dan pemuka masyarakat mereka terhadap negara. Penyerahan tersebut merupakan bentuk hibah, karena serahterima lahan masyarakat tersebut kepada negara dilakukan dengan nilai harga yang rendah. Lahan tersebut menjadi sengketa antara negara dengan masyarakat dan pihak Pemda Pasaman pada saat harga kelapa sawit tersebut naik tinggi sesuai dengan perkembangan ekonomi dunia, semangat otonomi daerah dan kembali kehidupan bernagari mendorong pihak-pihak yang terkait dengan saengketa lahan negara ini menjadi assets pemilikan mereka, “Bahkan, Pemkab Pasaman sendiri mendorong masyarakat mereka untuk merebut eks lahan-lahan assets negara ini menjadi pemilikan mereka” kata Rusdi.

Menhadapkan negara dengan masyarakat dalam persoalan persengketaan pemilikan terhadap assts lahan negara eks perkebunan atau pertambangan menurut Rusdi bukan hal yang tepat dalam penyelesaian kasus persengketaaan ini, apalaigi kalau hal tersebut didiorong oleh Pemerintah Kota (Pemkota) atau Pemerintah Kabupaten (Pemkab) yang mencereminkan ketidaktahuan mereka terhadap aturan-aturan yang mengatur sistem kenegaraan. Assets tersebut sudah diserahkan masyarakat kepada negara melalui pemuka masyarakat atau ninik mamak mereka, pihak tergugat dalam kasus persengketaan mestinya pemuka masyarakat atau ninik mamak yang menyerahkan lahan tersebut, upaya pengambilalihan lahan secara paksa oleh masyarakat dari negara merupakan pemicu tindak kekerasan antara aparatur negara dengan masyarakat seperti yang terjadi di Pasuruan, Jawa Timur yang menewaskan 7 anggota masyarakat oleh pasukan Angkatan Udara sebagai pemilik lahan sengketa ini.

Semangat hidup kembali ke nagari hanya berfungsi mengembalikan nilai-nilai kehidupan sosial dan politik yang diwarnai oleh bentuk-bentuk kenagarian, perubahan sistem pemerintahan kepada pola hidup bernagari dahulu merupakan sebuah langkah mundur dari bentuk sistem pemerintahan. Penyerahan assets lahan nagari untuk dikembangkan menjadi sebuah kota menuntut sistem pemerintahan modern yang telah memiliki beberapa tahap perkembangan dari sistem pemerintahan tradisional yang menempatkan ninik mamak dan penghulu sebagai pemegang otoritas politik utama kepada sistem pemerintahan modern yang dikelola oleh Pemerintah Penjajahan Belanda melalui Kotapraja dan Pemerintahan Indonesia sekarang melalui Kota Madya, “tuntutan beberapa anggota DPRD Tingkat I yang menuntut pengembalian sistem Pemerintahan Nagari melalui pola otoritas politik tradisiona lama terhadap pengelolalan Pemerintah Modern sekarang merupakan cara berfikir otonomi daerah yang tidak memahami konsep otonomi daerah itu sendiri”, kata Rusdi Lubis.

Padang, 22 Mei 2008

Sunday, May 4, 2008

YouTube - Broadcast Yourself.

YouTube - Broadcast Yourself.

KONFLIK ANTAR GENERASI DALAM TUBUH PKB

Salah satu persoalan internal partai politik saat ini adalah pemahaman terhadap misi dan tujuan partai politik dalam lembaga legislatif, “hanya terdapat kurang dari 40 persen dari anggota PKB yang memahami misi dan tujuan partai”, “jelas Cak Imin yag menjadi sapaan akrab Muhaiman Iskandar, Wakil Ketua DPR-RI sekaligus sebagai Ketua Umum PKB dalam open lecturer memperingati 30 tahun Unand di Padang pada bulan Desember 2007. Kurangnya pemahaman terhadap misi dan tujuan partai politik dalam Parlemen memberikan implikasi terhadap moralitas politik dalam etika berdemokrasi, “mereka yang tidak memahami misi dan tujuan partai politik, cenderung tidak memahami konsep yang dibicarakan dalam Parlemen, mereka yang tidak paham konsep yang dibicarakan dalam Parlemen cenderung mengikuti sebuah arus” jelas Cak Imin

Hubungan antara partai politik dengan institusi lain dalam sistem perwakilan politik, seperti lembaga legislatif dan eksekutif ditentukan oleh personalan internal dalam partai politik, “PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) harus memotong satu generasi, untuk menciptakan kader-kader partai yang fresh” lanjut Cak Imin. Upaya Cak Imin untuk menciptakan kader-kader partai yang fresh mengandung implikasi tergusurnya kader-kader partai politik lama, seperti Gus Dur dari jaringan kepengurusan partai politik yang dianggab tidak memiliki moralitas politik dalam etika berdemokrasi dalam pemahaman Cak Imin diatas.

Ketegangan hubungan antara Cak Imin dengan Gus Dur dalam PKB menggambarkan sebuah konflik antar generasi dalam sebuah partai politik daripada konflik internal partai politik itu sendiri. Gambaran etika politik Gus Dur dalam berdemokrasi sebagaimana yang dijelaskan oleh Mahfudz MD, hakim Mahkamah Konstitusi adalah sosok penentu dalam keputusan-keputusan yang dibuat PKB, “jika tidak ada pihak yang menyanggah atau membetulkan gagasan Gus Dur, maka gagasan itu kemudian menjadi keputusan partai politik”, jelas mantan salah seorang Ketua PKB tersebut di Hotel Sahid Jaya pada tahun 2005 silam

Salah satu upaya memperbaiki moralitas politik PKB dalam berdemokrasi adalah memperbaiki keputusan partai politik melalui tokoh-tokoh kritis yang berani memperbaiki pandangan Gus Dur secara pribadi, Cak Imin dan peserta MLB di Hotel Mercure yang dianggab oleh kubu Gus Dur sebagai perwakilan secara pribadi dari kepengurusan cabang dapat dianggab mewakili tokoth-tokoh kritis tersebut. Sebaliknya kubu Cak Imin menganggab kubu MLB versi Gus Dur di Parung, Bogor sebagai pihak yang mengikuti arus melalui proses mobilisasi cabang-cabang oleh pihak Gus Dur.

Pehamahaman Cak Imin tentang PKB selaras dengan pandangan Joseph La Palombara tentang partai politik yang menyatakan bahwa partai politik merupakan institusi politik modern yang lebih dahulu dibandingkan dari institusi politik lainnya, seperti Parlemen atau Pemilu, partai politik merupkan produk masyarakat modern dan sistem politik modern haruslah dibangun melalui partai politik modern. Partai politik sebagai institusi politik modern merupakan hasil dari tuntutan pengembangan masyarakat tradisional, bukan bahagian dari masyarakat tradisional itu sendiri. Partai politik tidak pernah lahir dari masyarakat tradisional yang tidak mengenal differensiasi struktural terhadap peran-peran sosial, ekonomi dan politik masyarakat maupun dalam rejim otoritere yang tidak memberi ruang perbedaan pendapat.

Kemampuan adaptasi dengan lingkungan, disamping kemampuan integrasi diri dalam partai politik merupakan tuntutan terhadap partai politik untuk hidup dalam lingkungan sistem kepartaian yang terdiri dari konstituen, parlemen dan lembaga eksekutif. Partai politik dalam konteks sistem kepartaian tidak hanya dilihat sebagai partai politik dalam organisasi internal partai politik itu sendiri, tetapi juga dilihat dari kedudukan partai politik tersebut dalam Parlemen dan Sistem Pemerintahan. Moralitas politik dalam berdemokrasi haruslah dibangun dari konsep partai politik itu sendiri dalam lingkungan sistem politik maupun sistem pemerintahan.

Perbedaan pandangan antara Gus Dur yang melihat PKB dari segi organisasi internal partai politik dengan Muhaimin Iskandar yang melihat PKB dari segi sistem kepartaian yang melibatkan PKB dalam persoalan hubungan dengan Parlemen dan sistem politik yang lebih demokratis merupakan bentuk konflik antar gemerasi dalam tubuh PKB saat ini

Padang, 3 Mei 2008