Friday, June 27, 2008

Komunikasi Politik Dalam Pelaksanaan Pilkada
Jumat, 27 Juni 2008
Oleh : Tamrin Kiram, Koordinator Program Studi Non-Reguler Ilmu Politik, Fisip, Unand
Berbeda dari pelaksanaan Pemilu legislatif maka pelaksanaan Pilkada prefeerensi politik rakyat sangat cair, pilihan-pilihan politik masyarakat dalam pelaksanaan Pilkada mengalami fluktuasi ke arah yang berbeda dari pilihan politik Pemilu legislatif. Fenomena ini dapat dilihat dari kekalahan calon-calon yang diusung oleh Partai Golkar dalam pelaksanaan Pilkada di Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Jawa Barat. Figur politik yang diusung oleh masyarakat lebih menentukan kemenangan Pilkada dari ketiga daerah ini dibandingkan dengan figur politik yang diusung oleh partai politik.
Dalam pelaksanaan Pilkada berlaku diktum tidak mesti figur politik yang diusung oleh partai besar menang, serta tidak mesti figur politik yang diusung oleh partai politik kecil kalah dalam pelaksanaan Pilkada. Kemampuan partai politik dalam menjaring calon-calon yang menjadi figur politik masyarakat menentukan kemenangan dalam pelaksanaan Pilkada oleh partai politik, kemampuan tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh strategi Partai Golkar Kodya Padang yang disampaikan oleh Z. Panji Alam, wakil Ketua DPRD Kodya Padang diskusi bulanan laboratorium Ilmu Politik Fisip Unand adalah dengan menentapkan figur politik terpopuler versi lembaga riset.

Kemudian figur politik terpopuler versi lembaga riset ini ditindaklanjuti melalui riset internal yang dilakukan oleh Partai Golkar sendiri terhadap figur politik terpopuler dalam masyarakat, hasil komparasi dari riset internal Partai Golkat dengan hasil riset lembaga independen diluar Partai Golkar ini menjadi rekomendasi bagi Partai Golkar untuk memutuskan calon-calon yang diusung oleh Partai Golkar dalam pelaksanaan Pilkada. Namun kelemahan Partai Golkar dalam mengusung calon-calon yang diusung dalam pelaksanaan Pilkada tersebut adalah logika berfikir bahwa keberhasilan memimpin Partai Politik di suatu daerah merupakan indikasi terhadap poularitas ketokohan diri dalam masyarakat.

Calon yang diusung oleh Partai Golkar dalam pelaksanaan Pilkada Gubernur Jawa Tengah dari Ketua Partai Golkar Jawa Tengah merupakan bentuk kesalahan logika berfikir diatas, meskipun latar belakang pekerjaan sebagai anggota DPR-RI dan bidang jurnalis sebagai wartawan mendukung pengetahunan dan pengalaman dalam berhadapan dengan masyarakat, tetapi masyarakat Jawa Tengah lebih melihat pasangan Bibit Waluyo dan Rustianingsih yang diusung oleh PDI-P sebagai calon yang berasal dari masyarakat daripada calon Golkar.

Menurut Jusuf Kalla, Ketua Umum Partai Golkar koordinasi di antara elite partai politik antara kader yang diusung oleh daerah dengan pusat menjadi kelemahan dalam partai Golkar, meskipun tidak ada intervensi antara pengurus pusat dengan pengurus daerah dalam partai Golkar, tetapi koordinasi antara pengurus daerah dengan pengurus pusat dalam partai politik menentukan kemenangan calon yang diusung oleh partai politik dalam pelaksanaan Pilkada.

Koordinasi ini dapat dilihat dari pernyataan Megawati Ketua Umum PDI-P bahwa Jawa Tengah merupakan barometer kekuatan politik PDI-P, kekalahan PDI-P dalam pelaksanaan Pilkada di Jawa Tengah menentukan kemenangan partai politik tersebut dalam pelaksanaan Pemilu legislatif dan Pilpres mendatang. Koordinasi internal antara pengurus daerah dengan pengurus pusat dalam PDI-P merupakan bentuk kinerja partai politik yang mempengaharui kemenangan PDI-P dari Partai Golkar. Unsur demokrasi dalam bentuk kebebasan pengurus daerah dalam menentukan kebijakan yang berbeda dari pengurus pusat merupakan dilema yang dihadapi oleh partai Golkar dalam mengatur strategi kemenangan calon yang diusung oleh partai politik dalam pelaksanaan Pilkada.

Kebijakan yang ditentukan oleh pengurus daerah secara sepihak berdasarkan ketokohan partai politik merupakan indikasi ketokohan dalam masyarakat merupakan logika berfikir yang menyesatkan dalam pelaksanaan Pilkada, calon-calon yang diusung oleh partai besar dari pengurus partai itu sendiri dalam pelaksanaan Pilkada memberi pel;uang terhadap partai-partai kecil untuk memberi ruang kepada figur politik yang lebih dikenal masyarakat daripada figur politik yang lebih dikenal oleh partai politik dalam memenangkan sebuah pelaksanaan Pilkada.

Faktor sistem yang bekerja dalam mekanisme strategi kemennagan dalam pelaksanaan Pilkada lebih menentukan daripada faktor calon yang diunggulkan oleh partai politik. PDI-P dan PKS merupakan partai politik yang memiliki mekanisme politik yang lebih mengakar ke dalam masyarakat, penetapan calon yang diusung dalam pelaksanaan Pilkada diperkuat melalui meknisme politik yang bekerja pada akar rumput.

Strategi PKS dalam memenangkan pasangan Ahmad Herawan dan Dede Yusuf dalam pelaksanaan Pilkada di Jawa Barat adalah dengan mendatangi rumah-rumah penduduk, kampanye-kampanye politik yang dilakukan oleh Bibit Waluyo yang diusung oleh PDI-P melalui pertemuan rakyat kecil di pasar-pasar serta komunikasi politik yang dijalani intensif oleh wakilnya calon Rustiningsih melalui acara “Selamat Pagi” Radio Pemda Kebumen yang dimilikinya ternyata lebih efektif daripada iklan yang ditayangkan melalui sarana audio visual pada media nasional.

Unsur komunikasi politik dalam bentuk penguasaan sarana komunikasi politik masyarakat merupakan strategi politik yang lebih menentukan kemenangan partai politik kecil daripada partai politik besar yang lebih mengusung unsur ketokohan partai politik daripada dalam bentuk faktor segmen apa dan media apa yang digunakan dalam kampanye politik. (***)

Sunday, June 22, 2008

Prospek Pengembangan Pariwisata Kabupaten Limapuluh Kota
Senin, 23 Juni 2008
Oleh: Tamrin Kiram, Koordinator Program Studi Non-Reguler Ilmu Politik, Fisip, Unand
Meskipun sudah terdapat rapat koordinasi tentang prencaan pengembangan pariwisata di antara beberpa Daerah Tingkat II di Sumbar, tetapi gagsan-gagasan bagus yang muncul dalam rapat koordinasi tersebut kurang didukung oleh kemampuan implementasi terhadap gagasan-gagasan tersebut.

Kebijakan yang muncul dari pengembangan pariwisata tersebut menurut Amri Darwis, Bupati Kabupaten 50 Kota dalam lecturer series lustrum Fisip Unand ke 15 13 Juni 2008 adalah kebijakan yang bersifat sepihak (parsial). Salah satu kebijakan bentuk kebijakan parsial tersebut adalah pemasaran produk kabupaten 50 Kota lebih banyak dilakukan di propinsi Riau dan Jambi daripada daerah lain di sekitar Symatera Barat.

Sebagai daerah penghasil ternak unggas dan telur paling besar di Sumatera Barat, harga yang dijual kepada konsumen lebih besar daripada harga yang yang dibeli oleh para pedagang dari peternak. Pengolahan telur menjadi produk olahan yang dijual kepada konsumen di Jambi 80 persen lebih besar dari harga telur yang dibeli dari peternak, keberhasilan produsen di Jambi untuk mengolah telur yang dibeli dari Kabupaten 50 Kota menjadi produk olahan meningkatkan nilai jual telur tersebut. Untuk meningkatkan multiflier effect kebijakan Pariwisata maka dilakukan berbagai penyuluhan untuk meningkatkan keterampilan masyarakat dalam mengolah kerajinan menjadi komoditi bisa meningkatkan harga bahan jadi produk yang dihasilkan masyarakat.

Gelamai Payakumbuh sebagai produk spesifik Kabupaten 50 Kota akan dirancang untuk dibungkus dengan daun karisiak (daun kering), agar bisa menarik wisatawan untuk membeli produk tersebut daripada dibungkus dengan plastik yang kurang hyegenis. Konsep back to nature (lembali kepada alam) merupakan konsep pariwisata modern yang mendukung kemasan alamiah tersebut, salah satu potensi wisata alam tersebut adalah pegembangan kawasan lembah Harau untuk menjadi arena even internasional panjat tebing (rock climbing) yang direncanakan digelar Agustus 2008. Pengembangan pariwisata menurut Ahmad Nidzam Sulaiman, professor tamu University Kebangsaan Malaysia (UKM) yang hadir dalam acara lecturer series tersebut lebih berhasil dilakuan melalui penyelenggaran even-even internasional yang diselenggarakan secara tahunan (annually).

Agenda tahunan lainnya yang dirancang oleh Pemda Kabupaten 50 Kota adalah Pacu Itik, hal sepsifik dari Pacu Itik tersebut menurut Kadinas Kabupaten 50 Kota adalah kharakteristik Itik itu sendiri. Itik yang dilatih dalam Pacu Itik tersebut memiliki ciri spesifik daripada itik biasa, itik tersebut mengetahui jarak 800 meter yang harus dilalauinya, dia tidak akan pernah melewati batas finish yang ditentukan serta berhenti tepat di garis batas fisnish, meskipun kemampuan terbangnya melebihi batas tersebut. Itik tersebut akan mencari jalur terbang memutar menghindari kerumunan orang, tetapi tetap berhenti di garis batas finish yang ditentukan.

Pengembangan bentuk spesifik lainnya dari prospek pengembangan pariwisata Kabupaten 50 Kota adalah menciptakan replika berbagai batuan menhir yang tersebar di Kabupaten 50 Kota, seperti Batu Telempong. Laranagan untuk memindahkan batu-batu menhir tersebut dari situs aslinya mendorong Pemda Kabupaten 50 Kota untuk membuat replika batu-batu menhir tersebut di kawasan Lembah Harau, pengembangan lembah Harau sebagai kawasan terpadu pariwisata ini saat ini juga mengadapi persoalan kewenangan pemilikan lahan tersebut antara Pemda Kodya dengan Pemda Kabupaten.

Persoalan lain yang menyangkut kewenangan dalam pengmebangan pariwasata tersebut adalah pembebasan lahan antara masyarakat dengan pihak Pemda di Peternakan Padang Mengatas. Jumlah bibit sapi unggulan yang diternakan di lahan ini saat ini hanya mencapi 50 ekor, kalangan investor dari Australia sebagaimana yang dijelaskan oleh Bupati telah bersedia untuk menanamkan investasi untuk pengembangan peternakan tersebut. Namun masyarakat setempat menolak melepaskan lahan mereka untuk pengembangan peternakan tersebut, berkeliarannya sapi-sapi bibit unggulan tersebut merupakan kekhawatiran yang muncul dari keterbatasan lahan peternakan ini.

Salah satu cara mengatasi keterbatasan lahan pengembangan indusrti pariwisata menurut Arizal, sosiolog fisip Unand adalah melalui konsep based coomunity development. Konsep ini lebih menitikberatkan kepada upaya bagi hasil antara masyarakat, investor dan Pemda dalam pengembangan sebuah kawasan atau lahan yang dimiliki masyarakat untuk menjadi areal industri atau kawasan pariwisata tertentu. Konsep based communcity development ini bisa meredam ketegangan antara masyarakat, negara dan investor yang selama ini menggunakan istilah pembebasan lahan untuk pengadaan kawasan industri atau pariwisata. (***)

Sunday, June 15, 2008

Romantisme dan Keahlian Manajerial Dalam Politik Kenegaraan dan Kebangsaan
Kamis, 12 Juni 2008
Oleh: Tamrin Kiram, Koordantor Program Studi Non-Reguler Ilmu Politik, Fisip, Unand
Kebijakan fiskal dan distribusi kesejahteraan merupakan esensi politik kenegaraan, arus modal (capital motion) yang mengalir dari suatu negara ke negara lain bisa merubah kebijakan politik sebuah negara melalui kewenangan yang dimiliki oleh pemilih modal dalam menentukan arah kebijaksan fiskal dan distribusi kesejahteraan negara tersebut. Kenaikan harga minyak (BBM) dan bentuk kebijakan distribusi kesejateraan yang mengikuti kenaikan harga BBM, seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras Untuk Rakyat Miskin (Raskin) merupakan bentuk penyesuaian kebijakan politik yang dilakukan oleh Indonesia sebagai sebuah negara tersebut terhadap pengaruh arus modal (capital motion) yang terjadi oleh kenaikan harga minyak dunia.

Arus modal (capital motion) yang mengalir dari suatu negara ke negara lain melalui spekulasi harga yang diciptakan oleh pialang-pialang di pasar saham lebih menentukan daripada kebijakan politik seorang kepala negara dalam mengarahkan anggaran (fiskal) negara tersebut serta peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui distribusi kesejahteraan yang dirancang oleh kebijakan fiskal tersebut, subsidi BBM oleh kenaikan harga BBM yang diprediksi pang tinggi hanya US$ 90 pada saat APBN 2007/2008 dibuat ternyata meningkat menjadi Rp. 200 triliun pada saat harga BBM dinilai US$ 120. Pemberian Bantuan Beasiswa (BBM) mahasiswa sebagai implikasi kenaikan BBM ini merupakan bentuk alokasi lain dari penyesuaian anggaran di sektor pendidikan, BBM merupakan bentuk alokasi anggaran pendidikan bagi mahasiswa yang diambil dari dana kompensasi kenaikan harga minyak.


Kebijakan pemerintah diatas merupakan penyesuaian diri dengan fluktuasi perkembangan harga internasional yang disebut oleh Kwik Kian Gie merupakan sarana stabilisasi perekenomian Indonesia, penyesuaian diri tersebut harus diringi oleh kebijakan ekonomi domestik yang mengatur proses alokasi anggaran dari satu sektor kepada sektor lain sebagai bentuk distribusi kesejahteraan. Globilasasi dalam bidang ekonomi dan politik mempengaharui kelangsungan sistem ekonomi dan politik Indonesia pada saat Indonesia berada di luar jalur arus modal yang mengalir dalam kehidupan ekonomi internasional tersebut, fenomena ini dijelaskan oleh Fachry Ali Dalam Peringatan Seratus Tahun Kebangkitan Nasional yang diselenggarakan oleh Pusata Studi Humaniora, Fakultas Sastra Unand pada 5 Juni 2008 dalam beberapa bentuk model kepemimpinan politik Indonesia.


Model kepemimpinan romantis yang dimiliki oleh Soekarno tidak memiliki dukungan keahlian manajerial dalam mengatasi persoalan ekonomi, sosialisme merupakan alternatif ideologi politik yang dijalankan oleh Soekarno disamping komunisme dalam mengatasi persoalan ekonomi. Keleluasaan Soekrano untuk menolak segala bentuk investasi asing yang mengaitkan sistem perekonomian Indonesia dengan sistem perekonomian dunia (global) dalam bentuk retorika politik “go to hell with your aids” harus dibayar mahal oleh keterpurukan ekonomi Indonesia sebagai bentuk romantisme politik keluar dari kapitalisme sebagai realitas ekonomi dunia.


Soekarno dilihat oleh banyak kalangan sebagai pemimpin yang melihat sistem ekonomi kapitalis dari luar, sedangkan Hatta melalui latar belakang pendidikan ekonomi di negara kapitalis (Belanda) melihat sistem kapitalis tersebut dari dalam dan lebih realistis berdasarkan kelemahan dan kekuatan sistem kapitalis tersebut. Hatta melalui keahlian manajerial memiliki model kepemimpinan yang dingin, unsur distribusi kekayaan dan kebijakan fiskal yang terdapat dalam gagasan ekonomi Hatta merupakan bentuk Politik Kenegaraan yang membedakan dari Soekanro yang lebih beraorientasi kepada Gerakan Massa sebagai bentuk Politik Kebangsaan. Gagasan pemikiran politik Soekanro adalah mendekatkan konsep Negara modern dengan nilai-nilai kebangsaan yang dimiliki oleh rakyat.


Seorang petani datang jauh dari Lebak Banten menemui Soekarno di Yogyakarta membawa hasil bumi untuk dipersembahkan kepada Presiden dengan cara sujud bersimpuh di hadapan Presiden, gambaran yang dinukilkan oleh Fachy Ali dari sebuah foto sejarah dokumentar tersebut menggambarkan kedudukan Presiden Soekarno memiliki arti sebagai seorang Raja Jawa di mata masyarakat. Keberhasila kepemimpinan Soekarno yang memiliki kemiripan dengan kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono adalah menjebatani konsep Negara modern melalui fungsi distribusi dan ekstraksi sumberdaya ekonomi masyarakat kedalam pemahaman kesadaran kebangsaan, aspek politik kebangsaan yang dijalani oleh Soekarno memiliki sisi kelemahan pada aspek politik kenegaraan.


Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merupakan salah seorang dari sedikit pemimpin yang bisa menyanyikan lagu “tiga puluh menit berlalu” secara fasih, beberapa pemimpin politik yang memiliki talenta musik yang baik diantaranya Azwar Anas dan Moerdiono yang semuanya berasal dari latar belakang militer. Gabungan antara kemampuan manajerial dengan kesenian merupakan unsur kepemimpinan yang dianggab oleh Facry Ali sebagai bentuk kombinasi antara model kepemimpinan Hatta yang dingin dan teknokratik dengan kepemimpinan Soekarno yang romantis. Politik Kenegaraan dan Politik Kebangsaan sebagai bentuk kedua model kepemimpinan yang berbeda ini merupakan bentuk gabungan antara unsur negara (state) dengan unsur nasional (nation) yang menjadi ciri khas negara modern (modern states).


Beberapa fungsi negara yang penting adalah memungut pajak, mendistribusikan kesejahteraan ekonomi kepada masyarakat, menjaga keamanan. Perluasan wilayah sebagai bentuk ekspansi politik sebuah negara memiliki keterkaitan dengan fungsi politik lainnya, perluasan wilayah merupakan sarana untuk menciptakan pasar pengembangan ekonomi yang selanjutnya mengalami proses distribusi untuk kesejahteraan masyarakat negara tersebut. Kecenderungan ini menempatkan basis politik yang dibangun oleh sebuah negara berdasarkan kekuatan ekonomi negara tersebut (political economy based state’s).


Penyesuaian diri dengan sistem ekonomi internasional merupakan kelangsungan sistem politik negara tersebut, bentuk demokrasi yang berkembang dipengaharui oleh pola sistem ekonomi yang berkembang diluar sistem politik negara tersebut. Gaya kepemimpinan SBY yang memadukan unsur romantisme politik dari model kepemimpinan politik Soekanro serta unsur distribusi kesejahteraan masyarakat dari keahlian manjerial yang dimiliki oleh Hatta, tercermin dari sifat realistis penyesuian harga BBM sebagai bentuk pemahaman terhadap unsur globalisasi dalam bidang perekonomian dengan kebijakan distribusi kesejahteraan sebagai dampak kenaikan harga BBM tersebut. (***)

Tuesday, June 10, 2008

Relevansi Demokrasi Dalam Seratus Tahun Kebangkitan Nasional
Selasa, 10 Juni 2008
Oleh : Tamrin Kiram, Koordinator Program Studi Non-Reguler Ilmu Politik, Fisip, Unand
Catatan-catatan yang dibuat oleh sejarahwan memberi arti terhadap sebuah peristiwa, makna dibalik sebuah peristiwa lebih penting dari arti yang diberikan oleh kalangan sejarahwan terhadap peristiwa tersebut yang berubah sesuai ditemukannya fakta-fakta baru sebagai post facto yang terkait dengan peristiwa tersebut oleh kalangan sejarahwan.

Kalangan pemimpin bangsa yang mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo pada tahun 1908 menurut Fachry Ali dalam Peringatan Seratus Tahun Kebangkitan Nasional yang digagas oleh Pusat Studi Humaniora, Fakultas Sastra, Unand pada 5 Juni 2008 sebagaimanahalnya dengan pencetus gagasan Renaissance pada abad Pertengahan tidak bermaksud untuk menjadikan momentum tahun dimulainya gerakan tersebut sebagai awal kebangkitan kesadaran sebuah bangsa atau generasi, tetapi kalangan sejarahwan yang menentapkannya sebagai sebuah peristiwa penting sebagi bentuk post facto yang dibuat kalangan sejarahwan itu sendiri.

Post facto yang dibuat oleh sejarahwan terhadap peristiwa berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908 sebagai awal kebangkitan nasional mengalami revisi oleh makna gagasan demokrasi yang berkembang pada tahun 2008 sebagai benang merah yang mengaitkan perkembangan gagasan demokrasi pada masa kebangkitan nasional tahun 1908. Tan Malaka dalam bukunya Aksi Massa yang dikutip oleh Facry Ali menyebutkan bahwa Boedi Oetomo yang lahir pada tahun 1908 merupakan gerakan feodal yang bermula dari munculnya Sekolah Raja di Bukittinggi, feodalisme gerakan tersebut dikaitkan dengan struktur sosial yang dibangun oleh gerakan tersebut melalui penggunaan bahasa yang tidak mencerminkan gagasan egalitarian dalam struktur sosial.

Unsur egalitarian dalam penggunaan bahasa sebagai bentuk kesadaran demokrasi muncul melalui figur Wahidin Sudirohusodo yang menjadi pelopor gerakan Syarekat Islam (SI) yang lebih dianggab sebagai gerakan perkotaan (kosmopolit) daripada Boedi Oetomo sebagai gerakan elit, Wahidin Soedirohusodo bersama Soekarno adalah figur yang memperjuangkan penggunaan bahasa Ngoko (Jawa Rendah) yang lebih mementingkan substansi pembicaraan daripada cara penyampaian. Ngoko adalah bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat bawah yang menempatkan manusia dalam kesedrajatan hubungan dengan manusia lain, sebaliknya Kromo (Jawa Tinggi) adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat kelas menengah atas yang lebih mengutamakan kepada siapa bahasa tersebut digunakan daripada unsur substansi pesan yang disampaikan dalam penggunaan bahasa tersebut.

Soekarno pernah diusir dari sebuah pertemuan disebabkan oleh penggunaan Ngoko sebagai bahasa yang digunakan oleh Soekarno dengan pejabat tinggi negara pada saat itu. Pelembagaan bentuk bahasa yang melembagakan bentuk hierarki struktur sosial yang tidak egaliter menemukan dirinya dalam penyesuaian dengan struktur ekonomi dunia yang tidak adil, sistem kapitalisme ekonomi dunia menghasilkan hubungan kelas yang tidak adil melalui bentuk penciptaan pasar di negara jajahan sebagai bahagian pengembangan modal negara industri. Indonesia menjadi bahagian dalam struktur ekonomi dunia tersebut melalui Politik Etis yang digunakan Belanda terhadap negara jajahannya pada tahun 1860 sebagai periode terintegrasinya sistem ekonomi Indonesia kedalam sistem ekonomi dunia.

Diharapkan sistem ekonomi pedesaan (tradisional) menjadi modern melalui kehadiran perkebunan dan pertambangan yang dikelola oleh pemerintah Belanda secara modern. Munculnya Sosialisme dalam Syarekat Islam (SI) dan Komunisme dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai ideologi alternatif yang ditawarkan oleh gerakan sosial saat itu merupakan reaksi terhadap unsur ketidakadilan dalam sistem ekonomi dunia yang dilembagakan oleh struktur sosial masyarakat melalui penggunaan bahasa yang bertingkat. Wahidin Sudirohusodio sebagai pelopor Gerakan Syarekat Islam dianggab sebagai tipikal pemberontak yang membawa iklim demokrasi yang lebih relevan dengan makna gagasan demokrasi 2008 sebagai Seratus Tahun Kebangkitan Nasional.

Sosialisme sebagai gagasan demokrasi kemudian dilembagakan oleh Muhammad Hatta kedalam Pasal 33 UUD melalui pengaturan ekonomi negara terhadap unsur-unsur ekstraktif dan distribustif dalam sektor kehidupan perekonomian, pemilikan pribadi hanya diperbolehkkan pada perusahaan-perusahaan kecil dan pribadi. Diktum yang tercantum dalam Konperensi Meja Biundar (KMB) pada tahun 1948 yang memberi jaminan terhadap pengembalian assets perusahaan-perusahaan Belanda merupakan bentuk pengembalian pengelolalan perusahaan yang bergerak dalam sektor ekstraktif dan distributif tersebut ke dalam jaringan sistem ekonomi dunia.

Keluarnya Indonesia dari organisasi pengekspor minyak (OPEC) sebagai bentuk ketimpangan sistem ekonomi dunia merupakan penegasan sistem ekonomi Indonesia yang tidak berpihak kepada kelompok pemilik modal yang menguasai jaringan distrubusi minyak dunia, penyesuaian diri terhadap ketimpangan yang muncul dari aliran modal (capital motion) oleh struktur sosial masyarakat melahirkan ketimpangan baru dalam hierarkhi sosial yang tidak menunjang terbentuknya demokrasi dalam sistem politik. Salah seorang penasehat Presiden Nixon yang dikutip oleh Facry Ali mengatakan bahwa, “jika saya mengalami reinkarnasi kembali hidup di dunia ini, saya ingin terlahir sebagai pialangm bukan sebagai negarawan. Negara lebih banyk diatur oleh pialang politik daripada oleh seorang negrawan”. Jumlah uang yang beredar di pasar saham Wall Street New York adalah sebesar US$ 30 triliun dollar per hari lebih besar daripada APBN Indonesia, aliran modal dunia yang timpang ini memainkan peranan penting daripada kebijaksanaan politik seorang negarawan dalam menjamin kelangsungan hidup negara mereka. (***)

Friday, June 6, 2008

Dari Daerah Tertinggal Menuju Daerah Pariwisata
Sabtu, 07 Juni 2008
Oleh : Tamrin Kiram, Koordantor Program Studi Non-Reguler Ilmu Politik, Fisip Unand
Kementrian Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal mencatat bahwa terdapat 139 daerah tertinggal (IDT) di Indonesia saat ini, kabupaten Pesisir Selatan menurut Bupati Nasrul Abit dalam lecturer series lustrum Fisip Unand ke 15 berada dalam urutan ke 139 daerah tertinggal tersebut. Sebagai sebuah daerah tertinggal, 2 tahun masa kepemimpinan beliau sebagai bupati di kabupaten terluas di Sumatera Barat ini diisi oleh upaya pengentasan kemiskinan.

Meskipun berbagai upaya dan pendekatan dilakukan seperti melalui Program Keluarga Harapan (KPH) yang telah melakukan renovasi sekitar 651 buah rumah penduduk yang tidak layak huni, tetapi hasil nyata dari program pengentasan kemiskinan tersebut tidak kelihatan. Salah satu persoalan yang dihadapi dalam program pengentasan kemiskinan tersebut menurutnya adalah terlalu banyaknya masyarakat yang mengaku miskin, dalam program pengentasan kemiskinan tersebut terdapat 5 kritieria kemiskinan diantaranya miskin, mendekati miskin, tidak miskin.

Untuk mengantisipasi hal tersebut maka bupati mengumpulkan sekitar 251 ustadz untuk memberi pengarahan kepada masyarakat bahwa pengakuan sebagai orang miskin tersebut sebagai sikap dan tingkahlaku tidak terpuji yang mengambil hak orang miskin sesungguhnya. Kegagalan untuk menghasilkan karya nyata program pengentasan kemiskinan tersebut mengalihkan program pengentasan kemiskinan yang mendorongnya sebagai orang pertama sebelum Kepala Daerah Tingkat II lainnya di Indonesia yang menolak gagasan Presiden pengentasan kemiskinan melalui Bantuan Tunai Langsung (BLT) kepada strategi pembangunan yang bisa menghasilkan efek berkelanjutan (multiflier effect) melalui pembangunan pariwisata.

Efek multiflier dari pembangunan pariwisata ini adalah melalui penciptaan berbagai bentuk kerajinan tangan sebagai industri rakyat yang dihasilkan oleh kedatangan para turis asing maupun lokal, kawasan Mandeh disamping berbagai pulau-pulau lainnya seperti pulau Cingkuak, Cubadak dijadikan resort internasional. Terdapat kawasan wisata laut yang memiliki iklim terbuka yang bebas didatangi oleh kebudayaan global serta kawasan wisata darat yang lebih banyak menjual assets budaya lokal kepada kepentingan turis asing manca negara, seperti tari kail dan beberapa kesenian lokal rakyat lainnya untuk ditempatkan sebagai bahagian event-event.paket wisata nasional dan internasional.

Beberapa event internasional yang dikemas dalam paket wisata tersebut diantaranya terbang layang di pantai Carocok, upaya Pemda untuk menjadikan pantai Painan sebagai kawasan wisata laut yang menghadirkan 2 buah kapal kaca tembus pandang yang bisa melihat melihat pemandangan bawah laut merupakan bentuk pemerintah untuk menghadirkan wisata bahari Bunaken Menado di Painan. Wisata alam yang dirancang oleh Pemda Pesisir Selatan saat ini sebagai promosi pariwisata yang muncul sejak kunjungan Presiden melihat potensi wisata Pesisir Selatan akibat gempa bumi Bengkulu 7,3 SR yang menghancurkan wilayah muko-muko sekitarnya merupakan bahagian pengembangan wisata Sumatera Barat sebagai 10 obyek wisata Indonesia, wisata alam ini kemudian dilanjutkan ke daerah Danau Kembar di Alahan Panjang yang kemudian dilanjutkan menjadi wisata budaya ke Batusangkar.

Upaya Pemerintah Pesisir Selatan untuk menjadikan daerah tersebut tidak hanya sebagai kawasan wisata alam tetapi juga kawasan wisata budaya dapat dilihat dari upaya pemerintah untuk melakukan renovasi rumah mande Rubiah di Lunang, Silaut, mande Rubiah dianggab sebagai simbol identitas masyarakat Pesisir Selatan sebagai bahagian dari Kerajaan Pagaruyung. Namun penolakan mande Rubiah terhadap tawaran Pemerintah Daerah untuk menjadikan rumah tersebut sebagai cagar budaya merupakan salah satu hambatan pengembangan wisata budaya ini. Pengembangan wisata budaya ini merupakan bentuk pariwisata khas Sumatera Barat yang tidak bersifat all in (terbuka) dari semua nilai.

Koordinasi dengan beberapa kabupaten tetangga yang terkait dengan dengan pengembangan wisata tersebut dilakukan oleh pemerintah Pesisir Selatan melalui pembangunan jalan yang menghubungkan daerah terpencil dari Painan ke Padang dan Painan ke Solok, hambatan koordinasi tersebut sebagaimna yang dijelaskan oleh Bupati berada dari kurang responnya pemerintah daerah kabupaten tetangga terhadap gagasan ini, seperti langkah pembuatan jalan baru dari sungai pisang yang sudah rampung dilakukan sampai ke Sungai Pinang. Tetapi tidak ada kelanjutna dari Pemko Padang untuk melanjutkan pembangunan jalan dari Sungai Pinang tersebut ke Padang sebagai bentuk komitmen bersama antara Pemko Padang dengan Pemda Pesisir Selatan.

Koordinasi antara beberapa kabupaten yang terkait dengan pengembangan obyek wisata sebagai assets komoditi jasa industri Sumatera Barat merupakan salah satu bentuk hambatan Visit The Indonesian Year yang dicanangkan pemerintah, keberhasilan prmosi wisata ini dapat dilihat dari kemampuan pemerintah Malaysia yang mampu mendatangkan wisatawan mancanegara melebih jumlah penduduknya melalui atribut-atribut “The Truly Asia” dengan mengadopsi budaya asing yang diklaim sebagai budaya lokal negara tersebut. Koordinasi antara pemerintah dengan stake holders yang terkait dengan pengembangan jasa pariwisata, seperti pemilik hotel dan restoran merupakan bentuk kebijaksanaan pengembangan wisata terpadu (integrated) yang menghasilkan efek multiflier terhadap pengembangan industri kerajinan rakyat dan sektor perekonomian rakyat lainnya. (***)

< Sebelumnya S
Pelaksanaan Sistem Pemilu yang Efektif dan Efisien
Kamis, 05 Juni 2008
Oleh : Tamrin, Koordantor Program Studi Non-Reguler Ilmu Politik, Fisip, Unand
Dalam pelaksanaan Pemilu selama rejim Orde Baru dikenal adanya istilah Pesta Demokrasi, istilah tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Moerdiono, mantan Sekretaris Negara dalam beberapa kabinte rejim Orde Baru merupakan sarana untuk membahagiakan masyarakat yang kebanyakan berasal dari latar belakang kelompok sosial ekonomi pinggiran, seperti buruh dan petani.

Pelaksanaan Pemilu yang diselenggarakan selama sekali lima tahun merupakan bentuk hiburan tersendiri bagi kebanyakan masyarakat Indonesia melalui tayangan hiburan, seperti orges dangdut dan penampilan selebriti lainnya yang meramaikan kegiatan kampanye partai politik tertentu.

Keterangan Moderdiono tersebut disampaikan kepada Agun Gunandjar Sudarso, Ketua Tim Kunjungan Kerja Pansus Pemilu Pilpres ke Sumatera Barat di aula rektorat Unand, 16 Mei 2008. Pernyataan tersebut sekaligus menggarisbawahi bahwa penggunaan sarana hiburan bagi kegiatan kampanye merupakan bentuk hubungan mutaualisme simbiosis yang menguntungkan baik untuk konstituen untuk memperoleh hibvuran gratsi, maupun bagi partai politik sebagai sarana sosialisasi partai politik, program kebijakan maupun kandidat mereka dalam pelaksanaan Pemilu.

Bahkan bagi sebahagian konstituen, kegiatan kampanye tidak berjalan seru jika seorang kandidat atau partai politik tidak menghujat partai politik atau kandidat partai politik lain dalam kegiatan kampanye, bentuk kegiatan kamnpanye yang bersifat akademis dan dialogis melalui penyampaian visi dan misi bagi sebahagian besar konstituen politik Indonesia justru kurang menarik.

Masuknya hiburan sebagai sarana kegiatan kampanye partai politik menghasilkan jaringan hubungan baru antara modal yang berasal dari kalangan pebisnis kedalam kegiatan politik, “bentuk hubungan antara kapitalisme dengan demokrasi tidak bisa dihindari dalam hubungan ekonomi dengan demokrasi” jelas Syafruddin Karimi, doktor ekonomi internasional dari Florrda State University mengutifp pendapat Robert A. Dahl mengomentari perlunya hiburan dalam pelaksanaan kegiatan kampanye politik.

Upaya Agun untuk menghindari kegiatan kampanye politik melalui publikasi massa seperti pemasangan iklan di televisi, radio, pemasangan billboard serta menekankan kepada kegiatan kampanye yang bersifat tertutup, akademis dan dialogis ternyata memperoleh respon negatif dari kalangan praktisi mass media, seperti kalangan wartawan, disamping tuntutan hiburan dari masyarakat terhadap bentuk-bentuk hiburan dalam pesta demokrasi.

Pendapat lain yang berusaha untuk menciptakan kegiatan politik yang bersif dari unsur kegiatan politik uang (money politics) diatas adalah berusaha melacak sumberdana yang membiayai kegiatan kampanye politik tersebut, meskipun kegiatan hiburan yang menghabiskan dana yang cukup besar tidak bisa dihindari dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia, tetapi pelaksanaan kampanye yang bersih dapat diwujudkan melalui upaya melacak sumberdana yang membiayai kegiatan kampanye tersebut.

“Tujuan-tujuan parsial (spihak) yang dilakukan partai politik dalam kegiatan kampanye tersebut tidak semestinya menggunakan uang negara (publik)”, jelas Jhon Parlis, dosen Fakultas Peternakan Unand dalam acara dengar pendapat untuk memperoleh masukan penysusnnan UU Pemilu Pilpres dengan kalangan akademisi tersebut.

Penggunaan sarana hiburan dalam kegiatan kampanye politik merupakan sebuah bentuk baru hubungan ekonomi dengan politik, data-data statistik yang dikemukakan oleh Sayfruddin Karimi memperlihatkan proses marjinalisasi kehidupan ekonomi sebahagian besar masyarakat Indonesia dalam bentuk kesenjangan antara demokrasi prosedural yang berlangsung di Indonesia sejak reformasi dengan realitas kehidupan ekonomi masyarakat yang semakin terpuruuk, kesenjangan tersebut dapat dilihat dari perbandingan data-data statistik pendapat masyarakat pada tahun 1996 dengan tahun 2006 yang memperlihatkan korelasi negartif antara pertambahan pendapatan masyarakat dengan peningkatan kehidupan politik yang lebih demokratis.

Terdapat beberapa langkah yang dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan pelaksanan Pemilu yang efisien dan efektif, diantaranya pelaksanaan waktu Pemilu Pilpres dengan Pemilu Legislatif yang dilaksanakan secara serentak di Indonesia serta upaya merubahan penggunaan kertas dalam pelaksanaan Pemilu dengan penggunaan tinta. Indonesia dan Ghana merupakan dua negara di dunia yang masih menggunakan cara pencoblosan kertas suara dalam pelaksanaan Pemilu, sedangkan negara-negara lain di dunia sudah menggunaan cap tinta, “bagaimana model tinta yang digunakan sekarang dalam proses kajian” jelas Lukman Hakin Saifuddin anggota Pansus Pemilu.

Efektifitas dan efisiensi pelaksanaan Pemilu juga memungkinkan kalangan politisi yang memiliki kemampuan untuk memimpin tetapi tidak memiliki sumberdana yang cukup besar untuk membiayai kegiatan kampanye bisa tampil dalam pelaksanaan Pemilu, hal tersebut juga mengatasi masuknya saudagar (pedagang) dalam kegiatan politik sbagai bentuk demokrasi politik yang berkembang sejak reformasi bergulir di Indonesia.

“Kekalahan Amien Rais dalam pelaksanaan Pemilu Pilpres tahun 2004 sesungguhnya merupakan kekalahan mesin politik Amien Rais yang hanya ditunjang oleh dana kegiatan kamapnye Rp. 32 milyar dibandingkan kubu politisi lain yang menghabiskan dana diatas Rp. 70 milyar”, jelas seorang analisis yang menulis Menangisi Kekalahan Amien Rais dalam pelaksanaan Pemilihan Pilpres 2004. (***)
Elit, Kultur dan Struktur Pengelolalan DAU dan DAUN
Jumat, 06 Juni 2008
Oleh : Tamrin Kiram, Koordantor Program Studi Non-Reguler Ilmu Politik, Fisip Unand
Unsur kultur, struktur dan elit memainkan peranan penting dalam proses pembangunan politik, ketiga unsur ini merupakan komponen sistem politik yang terkait satu sama lain. Aliran dana yang cukup besar dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam era otonomi daerah yang disalurkan melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN) yang tidak didukung oleh kultur dan elit politik yang menunjang pelaksanaan program kebijakan tersebut disinyalir oleh Masriadi Martunus, mantan Bupati Tanah Datar tidak menghasilkan produktifitas dan efesektifitas pelaksanaan pembangunan sebuah daerah.
Menurut mantan Bupati yang dikenal melalui kebijakannya dalam menyalurkan dana kesejahteraan PNS melalui bunga deposito hasil simpanan tabungan sisa anggaran ini dikenal adanya bentuk kepenimpinan dari kalangan birokrasi dan dari kalangan luar birokrasi dalam pelaksanaan otonomi daerah, kalangan birokrasi lebih berusapaya untuk menarik DAU dan DAUN dari Pemerintah Pusat secara maksimal melalui pemaparan kondisi daerahnya yang berada dalam garis kemiskinan atau hapir medekati garis kemiskinan. Sedangkan Pemimpin daerah yang berasal dari luar kalangan birokrasi lebih berusaha menekan angka kemiskinan melalui gagsan-gagasan baru tentang kinerja Pemerintahan, agar bisa mengurangi ketergantungan terhadap DAU dan DAUN.

Sikap Pemerintah Daerah dalam menerima atau menolakBantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai dana kompensasi bagi rakyat miskin terhadap kenaikan harga BBM bisa memberi gambaran tentang latar belakang rektruitmen politik kepemimpinan daerah ytang bersangkutan, Meskipun kecenderungan untuk menemukan sektor penghasilan ekonomi dari luar bantuan ekonomi yang disalurkan oleh Pemerintah Pusat tersebut menurut Masriadi Martunus merupakan langkah antisipatif yang dilakukan oleh berbagai kepemimpinan Pemerintah Daerah untuk menentukan arah pembangunan politik daerah tersebut untuk berpihak kepada Pemerintah Pusat atau berdiri di atas landasan masyarakat sendiri berdasarkan pilihan-pilihan yang ditawarkan pada saat munculnya berbagai gerakan politik di beberapa daerah untuk memisahkan diri dari Pemerintah Pusat, seperti Gerakan Riau Merdeka, Papua Merdeka, Aceh Merdeka pada saat reformasi politik bergulir pada tahun 1999.

Diperlukan pembekalan teori dan etika pemerintahan terhadap elit politik yang direkrut dari luar birokrasi pemerintahan, seperti dari kalngan pengusaha yang menduduki jabatan kepemimpinan daerah, gambaran awamnya elit politik dari luar pemerintahan terhadap etika dan struktur pemerintahan dapat dilihat dari kampanye seorang calon Gubernur Bengkulu yang dikutip oleh seoang anggota DPD Bengkulu pada lokakarya dan seminatr BKS PTN di Bengkulu pada Agustus 2007 bahwa calon gubernur tersebut berjanji akan menaikan eselon I menjadi eselon IV Pasangan Colon dan Wakil Kepala Daerah merupakan satu paket politik yang dipilih masyarakat, pengetahuna tentang struktur dan etika pemerintahan lebih banyak dimiliki oleh Sekretaris Daerah yang menjadi eselon tertinggi dalam jabatan birokrasi pemerintahan.

Keterlibatan sektor swasta (masyarakat) dalam membiayai anggaran pemerintahan merupakan bentuk kepeminanan Wali Nagari yang terdapat sebelum otonomi daerah berlangsung di Sumatera Barat, partisipasi Anak Nagari yang dijelaskan oleh Rusdi Lubis sebagai keanggotaan masyarakat dalam sebuah nagari yang melintasi wilayah geografis sebuah nagari membedakan pola Nagari di Sumatera Barat dengan struktur pemerintahan terendah lainnya di Indonesia. Partisipasi Anak Nagari yang dikemas menjadi Musrembang di setiap nagari merupakan bentuk pengelolan modal sosial, ekonomi, dan politik yang mengurangi ketergantungan negari terhadap bantuan Pemerintah Pusat.

Dana simpanan pemerintahan diperlukan untuk menjamin keberlangsungan sistem pemerintahan di tingkat otonomi paling rendah ini, dana simpanan dan tenaga-tenaga professional yang mengelola DAU dan DAUN yang dibiayai tersendiri terpisah dari alokasi dana yang disediakan oleh DAU dan DAUN tersebut merupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas sistem pemerintahan paling rendah ini. “Kecenderungan yang ada semua dana alokasi DAU dan DAUN tersebut dihabiskan sebagai bentuk pertanggungjawaban dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat baik dilakukan melalui profram fiktif maupun tanpa perencanaan sama sekali”, jelas Masriadi yang saat ini kuliah di Universitas Satyagama, Jakarta Konsentrasi Program Otonomi dan Pemerintahan Daerah

Lemahnya kapabilitas elit politik dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat implementasi kebijakan yang mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada tingkat paling bawah struktur pemerintahan menghasilkan struktur pemerintahan yang dikemas dalam bingkas reformasi, tetapi mengandung unsur budaya politik yang tidak berubah dari periode sebelum refomrasi. Kegamangan elit pemerinrintahan daerah dalam mengmbil keputusan lebih terkait dari latar belakang elit politik yang kurang mengetahui etika dan sistem pemerintahan serta latar belakang elit politik dari birokrasi yang lebih menekankan kepada kulur politik daripada gagasan politik yang yang lebih kreatif dan inovatif dalam menggali potensi ekonomi daripada kemampuan memperoleh DAU dan DAUN yang lebih besar kepada Pemerintah Pusat. (***)
< Sebelumnya Selanjutnya >

Sunday, June 1, 2008

Efektifitas Bantuan Langsung Tunai Bagi Masyarakat Miskin
Rabu, 28 Mei 2008
Oleh : Tamrin Kiram, Koordinator Program Studi Non Reguler Ilmu Politik, Fisip, Unand
Bantuan tunai langsung (BLT) terhadap rakyat msikin merupakan program konkrit pemerintah dalam membantu rakyat miskin terhadap implikasi pengurangan subsidi Bahan Bahan Minyak (BBM), kenaikan harga BBM sebesar 27% mempengaharui kenaikan harga barang-barang lain yang menjadi bahan kebutuhan masyarakat, seperti kenaikan harga beras serta pangan yang lain. Bahkan di beberapa tempat kenaikan harga ini telah mendorong sebahagian masyarakat miskin untuk mengkonsumsi pangan altrernatif yang tidak layak, seperti ubi ketela. Bagi sebahagian kalangan BLT hanyalah meringankan penderitaan rakyat miskin, tetapi tidak mengentaskan kemiskinan.
Sasaran pengentasan kemiskinan oleh program BLT diohalangi oleh ketergantungan baru dari rakyat pemerintah terhadap bantuan pemerintah, disamping itu sensus penduduk tahun 2006 yang digunakan sebagai sumber data jumlah rakyat miskin yang menjadi sasaran BLT menjadi persoalan keakuratan data penyaluran dana BLT. Penyaluran dana BLT dilakukan langsung oleh Pemerintah Pusat tanpa melewati daerah Kotamadya atau Kabupaten sasaran penyaluran dana BLT tersebut, sebahagian Pemerintah Kabupaten (Pemkab) dan Pemerintah Kota (Pemkot) tidak mengetahui jumlah penerima dan sasaranan penerima dana BLT tersebut.

Pemerintah menggunakan data-data sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai sumber data penyaluran dana BLT, hasil sensus tersebut dilakukan secara periodik selama jangka waktu 5 tahun serta diperbaharui setiap tahunnya melalui perubahan margin angka 5% sebagai bentuk penyesuaian data dari perubahan sosial yang dialami penduduk. Untuk mengantisipasi data-data yang bersifat umum tersebut, maka Pemkab seperti Pemkab Pesisir Selatan di Sumatera Barat menggunakan data-data statistik internal sebagai dasar pengambilan kebijakan yang lebih realistis daripada data BPS, disampin itu terdapat juga data catatan sipil dasar pengambil kebijakan tersebut.

Dari sumberdata yang berbeda tersebut terdapat perbedaan pola dan efektifitas pemberantasan rakyat miskin antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam persoalan pemeriantasan rakyat miskin tersebut. Perbedaan tersebut terlihat dari penyaluran beras rakyat miskin (raskin) yang dilakukan oleh Dolog dan bantuan 1000 kapal boat nelayan oleh Menteri Sosial terhadap masyarakat miskin yang tinggal di daerah pesisir selatan Propinsi Sumatera Barat ini. Bantuan 1000 boat nelayan untuk nelayan miskin di kabupten ini dikeluhkan oleh Bupati Narul Abit sebagai tidak efektif, gelombang Samudera Hindia yang besar menghantam daerah pesisir ini kurang efektif membantu nelayan miskin di daerah pesisir ini.

Pemerintah dalam mengantisipasi kemiskinan masyarakat di kabupaten ini menyelenggarakan program Pengentasan Kemiskinan Keluarga Harapan (PKKH) yang merupakan program pengentasan kemiskinan terpadu yang melibatkan sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial. Dalam program PKKH tersebut terdapat pendataan terhadap rakyat miskin yang diperbaharui setiap tahun, mereka yang sudah tidak memenuhi kriteria rakyat miskin dikeluarkan dari data ini, “tahun lalu terdapat 201 keluarga yang dikeluarkan dari data ini”, kata Nasrul Abit.. Ketegasan terhadap data rakyat miskin tersebut yang tidak terdapat dalam penyaluran dana BLT, aparatur pemerintahan paling bawah tidak berani melakukan perubahan data-data kemiskinan yang berbeda dari hasil sensus penduduk tahun 2005.

Rakyat yang tidak terdata dari hasil sensus 2005 untuk masa jangka waktu 5 tahun ke depan (2010) selamanya tidak tercatat dalam pendataan tersebut, aparatur pemerintahan tidak berani berbeda pendapat tentang data kemiskinan antara data hasil sensus resmi yang tercantum dalam BPS dengan data sesus kemiskinan yang nyata berkembang dalam masyarakat. Ketidakberanian tersebut terecermin dari ketidakberani aparatur pemerintahan dari menghadapi tunututan pengakuan sebagai rakyat miskin dalam memperoleh dana BLT tersebut, unsur nepotsime berdasarkan kedekatan hubungan antara sasaran penerima bantuan pengentasan kemiskinan dengan aparatur pemereintah yang mencatat data kemiskinan merupakan faktor lain yang mengurangi efektifitas BLT.

KPPH yang menjadi program kebijaksanaan pengentasan kemiskinan di Kab. Pesisir Selatan merupakan hasil hasil kajian terpadu dari berbagai lintas disiplin, seperti kajian ekonomi, sosiologi dan lingkungan alam yang dinyatakan oleh seorang dekan dalam lingkungan Universitas Andalas sebagai hasil kajian dari beberapa tim ahli di Universitas Andalas. Stretaegi ini menggunakan pemebeerian modal untuk membuka lapangan kerja bagi rkayat miskin, perbaikan rumah yang tidak layak huni, pelayanan pendidikan gratis sampai SLTA, serta pelayanban kesehatan gratis terhadap warga masyarakat yang dikategorikan miskin Melalui ketepatan dalam mencari sasaran pemberdayaan serta pola yang digunakan dalam mengentaskan kemiskinan ini, maka pola KPPH ini bisa menghemat angka triliunan rupiah yang dikucurkan oleh pemerintah dalam program pengentasan kemiskinan ini, strategi ini menurut Nasrul Abit Bupati Pessel telah mengurangi angka kemiskinan di wilayah tersebut dari 42.000 keluarga menjadi 35.000 warga pada tahun 2007. (***)