Friday, June 6, 2008

Elit, Kultur dan Struktur Pengelolalan DAU dan DAUN
Jumat, 06 Juni 2008
Oleh : Tamrin Kiram, Koordantor Program Studi Non-Reguler Ilmu Politik, Fisip Unand
Unsur kultur, struktur dan elit memainkan peranan penting dalam proses pembangunan politik, ketiga unsur ini merupakan komponen sistem politik yang terkait satu sama lain. Aliran dana yang cukup besar dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam era otonomi daerah yang disalurkan melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Umum Nagari (DAUN) yang tidak didukung oleh kultur dan elit politik yang menunjang pelaksanaan program kebijakan tersebut disinyalir oleh Masriadi Martunus, mantan Bupati Tanah Datar tidak menghasilkan produktifitas dan efesektifitas pelaksanaan pembangunan sebuah daerah.
Menurut mantan Bupati yang dikenal melalui kebijakannya dalam menyalurkan dana kesejahteraan PNS melalui bunga deposito hasil simpanan tabungan sisa anggaran ini dikenal adanya bentuk kepenimpinan dari kalangan birokrasi dan dari kalangan luar birokrasi dalam pelaksanaan otonomi daerah, kalangan birokrasi lebih berusapaya untuk menarik DAU dan DAUN dari Pemerintah Pusat secara maksimal melalui pemaparan kondisi daerahnya yang berada dalam garis kemiskinan atau hapir medekati garis kemiskinan. Sedangkan Pemimpin daerah yang berasal dari luar kalangan birokrasi lebih berusaha menekan angka kemiskinan melalui gagsan-gagasan baru tentang kinerja Pemerintahan, agar bisa mengurangi ketergantungan terhadap DAU dan DAUN.

Sikap Pemerintah Daerah dalam menerima atau menolakBantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai dana kompensasi bagi rakyat miskin terhadap kenaikan harga BBM bisa memberi gambaran tentang latar belakang rektruitmen politik kepemimpinan daerah ytang bersangkutan, Meskipun kecenderungan untuk menemukan sektor penghasilan ekonomi dari luar bantuan ekonomi yang disalurkan oleh Pemerintah Pusat tersebut menurut Masriadi Martunus merupakan langkah antisipatif yang dilakukan oleh berbagai kepemimpinan Pemerintah Daerah untuk menentukan arah pembangunan politik daerah tersebut untuk berpihak kepada Pemerintah Pusat atau berdiri di atas landasan masyarakat sendiri berdasarkan pilihan-pilihan yang ditawarkan pada saat munculnya berbagai gerakan politik di beberapa daerah untuk memisahkan diri dari Pemerintah Pusat, seperti Gerakan Riau Merdeka, Papua Merdeka, Aceh Merdeka pada saat reformasi politik bergulir pada tahun 1999.

Diperlukan pembekalan teori dan etika pemerintahan terhadap elit politik yang direkrut dari luar birokrasi pemerintahan, seperti dari kalngan pengusaha yang menduduki jabatan kepemimpinan daerah, gambaran awamnya elit politik dari luar pemerintahan terhadap etika dan struktur pemerintahan dapat dilihat dari kampanye seorang calon Gubernur Bengkulu yang dikutip oleh seoang anggota DPD Bengkulu pada lokakarya dan seminatr BKS PTN di Bengkulu pada Agustus 2007 bahwa calon gubernur tersebut berjanji akan menaikan eselon I menjadi eselon IV Pasangan Colon dan Wakil Kepala Daerah merupakan satu paket politik yang dipilih masyarakat, pengetahuna tentang struktur dan etika pemerintahan lebih banyak dimiliki oleh Sekretaris Daerah yang menjadi eselon tertinggi dalam jabatan birokrasi pemerintahan.

Keterlibatan sektor swasta (masyarakat) dalam membiayai anggaran pemerintahan merupakan bentuk kepeminanan Wali Nagari yang terdapat sebelum otonomi daerah berlangsung di Sumatera Barat, partisipasi Anak Nagari yang dijelaskan oleh Rusdi Lubis sebagai keanggotaan masyarakat dalam sebuah nagari yang melintasi wilayah geografis sebuah nagari membedakan pola Nagari di Sumatera Barat dengan struktur pemerintahan terendah lainnya di Indonesia. Partisipasi Anak Nagari yang dikemas menjadi Musrembang di setiap nagari merupakan bentuk pengelolan modal sosial, ekonomi, dan politik yang mengurangi ketergantungan negari terhadap bantuan Pemerintah Pusat.

Dana simpanan pemerintahan diperlukan untuk menjamin keberlangsungan sistem pemerintahan di tingkat otonomi paling rendah ini, dana simpanan dan tenaga-tenaga professional yang mengelola DAU dan DAUN yang dibiayai tersendiri terpisah dari alokasi dana yang disediakan oleh DAU dan DAUN tersebut merupakan bentuk transparansi dan akuntabilitas sistem pemerintahan paling rendah ini. “Kecenderungan yang ada semua dana alokasi DAU dan DAUN tersebut dihabiskan sebagai bentuk pertanggungjawaban dari Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat baik dilakukan melalui profram fiktif maupun tanpa perencanaan sama sekali”, jelas Masriadi yang saat ini kuliah di Universitas Satyagama, Jakarta Konsentrasi Program Otonomi dan Pemerintahan Daerah

Lemahnya kapabilitas elit politik dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat implementasi kebijakan yang mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada tingkat paling bawah struktur pemerintahan menghasilkan struktur pemerintahan yang dikemas dalam bingkas reformasi, tetapi mengandung unsur budaya politik yang tidak berubah dari periode sebelum refomrasi. Kegamangan elit pemerinrintahan daerah dalam mengmbil keputusan lebih terkait dari latar belakang elit politik yang kurang mengetahui etika dan sistem pemerintahan serta latar belakang elit politik dari birokrasi yang lebih menekankan kepada kulur politik daripada gagasan politik yang yang lebih kreatif dan inovatif dalam menggali potensi ekonomi daripada kemampuan memperoleh DAU dan DAUN yang lebih besar kepada Pemerintah Pusat. (***)
< Sebelumnya Selanjutnya >

No comments: