Tuesday, June 10, 2008

Relevansi Demokrasi Dalam Seratus Tahun Kebangkitan Nasional
Selasa, 10 Juni 2008
Oleh : Tamrin Kiram, Koordinator Program Studi Non-Reguler Ilmu Politik, Fisip, Unand
Catatan-catatan yang dibuat oleh sejarahwan memberi arti terhadap sebuah peristiwa, makna dibalik sebuah peristiwa lebih penting dari arti yang diberikan oleh kalangan sejarahwan terhadap peristiwa tersebut yang berubah sesuai ditemukannya fakta-fakta baru sebagai post facto yang terkait dengan peristiwa tersebut oleh kalangan sejarahwan.

Kalangan pemimpin bangsa yang mendirikan perkumpulan Boedi Oetomo pada tahun 1908 menurut Fachry Ali dalam Peringatan Seratus Tahun Kebangkitan Nasional yang digagas oleh Pusat Studi Humaniora, Fakultas Sastra, Unand pada 5 Juni 2008 sebagaimanahalnya dengan pencetus gagasan Renaissance pada abad Pertengahan tidak bermaksud untuk menjadikan momentum tahun dimulainya gerakan tersebut sebagai awal kebangkitan kesadaran sebuah bangsa atau generasi, tetapi kalangan sejarahwan yang menentapkannya sebagai sebuah peristiwa penting sebagi bentuk post facto yang dibuat kalangan sejarahwan itu sendiri.

Post facto yang dibuat oleh sejarahwan terhadap peristiwa berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908 sebagai awal kebangkitan nasional mengalami revisi oleh makna gagasan demokrasi yang berkembang pada tahun 2008 sebagai benang merah yang mengaitkan perkembangan gagasan demokrasi pada masa kebangkitan nasional tahun 1908. Tan Malaka dalam bukunya Aksi Massa yang dikutip oleh Facry Ali menyebutkan bahwa Boedi Oetomo yang lahir pada tahun 1908 merupakan gerakan feodal yang bermula dari munculnya Sekolah Raja di Bukittinggi, feodalisme gerakan tersebut dikaitkan dengan struktur sosial yang dibangun oleh gerakan tersebut melalui penggunaan bahasa yang tidak mencerminkan gagasan egalitarian dalam struktur sosial.

Unsur egalitarian dalam penggunaan bahasa sebagai bentuk kesadaran demokrasi muncul melalui figur Wahidin Sudirohusodo yang menjadi pelopor gerakan Syarekat Islam (SI) yang lebih dianggab sebagai gerakan perkotaan (kosmopolit) daripada Boedi Oetomo sebagai gerakan elit, Wahidin Soedirohusodo bersama Soekarno adalah figur yang memperjuangkan penggunaan bahasa Ngoko (Jawa Rendah) yang lebih mementingkan substansi pembicaraan daripada cara penyampaian. Ngoko adalah bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat bawah yang menempatkan manusia dalam kesedrajatan hubungan dengan manusia lain, sebaliknya Kromo (Jawa Tinggi) adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat kelas menengah atas yang lebih mengutamakan kepada siapa bahasa tersebut digunakan daripada unsur substansi pesan yang disampaikan dalam penggunaan bahasa tersebut.

Soekarno pernah diusir dari sebuah pertemuan disebabkan oleh penggunaan Ngoko sebagai bahasa yang digunakan oleh Soekarno dengan pejabat tinggi negara pada saat itu. Pelembagaan bentuk bahasa yang melembagakan bentuk hierarki struktur sosial yang tidak egaliter menemukan dirinya dalam penyesuaian dengan struktur ekonomi dunia yang tidak adil, sistem kapitalisme ekonomi dunia menghasilkan hubungan kelas yang tidak adil melalui bentuk penciptaan pasar di negara jajahan sebagai bahagian pengembangan modal negara industri. Indonesia menjadi bahagian dalam struktur ekonomi dunia tersebut melalui Politik Etis yang digunakan Belanda terhadap negara jajahannya pada tahun 1860 sebagai periode terintegrasinya sistem ekonomi Indonesia kedalam sistem ekonomi dunia.

Diharapkan sistem ekonomi pedesaan (tradisional) menjadi modern melalui kehadiran perkebunan dan pertambangan yang dikelola oleh pemerintah Belanda secara modern. Munculnya Sosialisme dalam Syarekat Islam (SI) dan Komunisme dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai ideologi alternatif yang ditawarkan oleh gerakan sosial saat itu merupakan reaksi terhadap unsur ketidakadilan dalam sistem ekonomi dunia yang dilembagakan oleh struktur sosial masyarakat melalui penggunaan bahasa yang bertingkat. Wahidin Sudirohusodio sebagai pelopor Gerakan Syarekat Islam dianggab sebagai tipikal pemberontak yang membawa iklim demokrasi yang lebih relevan dengan makna gagasan demokrasi 2008 sebagai Seratus Tahun Kebangkitan Nasional.

Sosialisme sebagai gagasan demokrasi kemudian dilembagakan oleh Muhammad Hatta kedalam Pasal 33 UUD melalui pengaturan ekonomi negara terhadap unsur-unsur ekstraktif dan distribustif dalam sektor kehidupan perekonomian, pemilikan pribadi hanya diperbolehkkan pada perusahaan-perusahaan kecil dan pribadi. Diktum yang tercantum dalam Konperensi Meja Biundar (KMB) pada tahun 1948 yang memberi jaminan terhadap pengembalian assets perusahaan-perusahaan Belanda merupakan bentuk pengembalian pengelolalan perusahaan yang bergerak dalam sektor ekstraktif dan distributif tersebut ke dalam jaringan sistem ekonomi dunia.

Keluarnya Indonesia dari organisasi pengekspor minyak (OPEC) sebagai bentuk ketimpangan sistem ekonomi dunia merupakan penegasan sistem ekonomi Indonesia yang tidak berpihak kepada kelompok pemilik modal yang menguasai jaringan distrubusi minyak dunia, penyesuaian diri terhadap ketimpangan yang muncul dari aliran modal (capital motion) oleh struktur sosial masyarakat melahirkan ketimpangan baru dalam hierarkhi sosial yang tidak menunjang terbentuknya demokrasi dalam sistem politik. Salah seorang penasehat Presiden Nixon yang dikutip oleh Facry Ali mengatakan bahwa, “jika saya mengalami reinkarnasi kembali hidup di dunia ini, saya ingin terlahir sebagai pialangm bukan sebagai negarawan. Negara lebih banyk diatur oleh pialang politik daripada oleh seorang negrawan”. Jumlah uang yang beredar di pasar saham Wall Street New York adalah sebesar US$ 30 triliun dollar per hari lebih besar daripada APBN Indonesia, aliran modal dunia yang timpang ini memainkan peranan penting daripada kebijaksanaan politik seorang negarawan dalam menjamin kelangsungan hidup negara mereka. (***)

No comments: