Friday, June 6, 2008

Pelaksanaan Sistem Pemilu yang Efektif dan Efisien
Kamis, 05 Juni 2008
Oleh : Tamrin, Koordantor Program Studi Non-Reguler Ilmu Politik, Fisip, Unand
Dalam pelaksanaan Pemilu selama rejim Orde Baru dikenal adanya istilah Pesta Demokrasi, istilah tersebut sebagaimana yang dijelaskan oleh Moerdiono, mantan Sekretaris Negara dalam beberapa kabinte rejim Orde Baru merupakan sarana untuk membahagiakan masyarakat yang kebanyakan berasal dari latar belakang kelompok sosial ekonomi pinggiran, seperti buruh dan petani.

Pelaksanaan Pemilu yang diselenggarakan selama sekali lima tahun merupakan bentuk hiburan tersendiri bagi kebanyakan masyarakat Indonesia melalui tayangan hiburan, seperti orges dangdut dan penampilan selebriti lainnya yang meramaikan kegiatan kampanye partai politik tertentu.

Keterangan Moderdiono tersebut disampaikan kepada Agun Gunandjar Sudarso, Ketua Tim Kunjungan Kerja Pansus Pemilu Pilpres ke Sumatera Barat di aula rektorat Unand, 16 Mei 2008. Pernyataan tersebut sekaligus menggarisbawahi bahwa penggunaan sarana hiburan bagi kegiatan kampanye merupakan bentuk hubungan mutaualisme simbiosis yang menguntungkan baik untuk konstituen untuk memperoleh hibvuran gratsi, maupun bagi partai politik sebagai sarana sosialisasi partai politik, program kebijakan maupun kandidat mereka dalam pelaksanaan Pemilu.

Bahkan bagi sebahagian konstituen, kegiatan kampanye tidak berjalan seru jika seorang kandidat atau partai politik tidak menghujat partai politik atau kandidat partai politik lain dalam kegiatan kampanye, bentuk kegiatan kamnpanye yang bersifat akademis dan dialogis melalui penyampaian visi dan misi bagi sebahagian besar konstituen politik Indonesia justru kurang menarik.

Masuknya hiburan sebagai sarana kegiatan kampanye partai politik menghasilkan jaringan hubungan baru antara modal yang berasal dari kalangan pebisnis kedalam kegiatan politik, “bentuk hubungan antara kapitalisme dengan demokrasi tidak bisa dihindari dalam hubungan ekonomi dengan demokrasi” jelas Syafruddin Karimi, doktor ekonomi internasional dari Florrda State University mengutifp pendapat Robert A. Dahl mengomentari perlunya hiburan dalam pelaksanaan kegiatan kampanye politik.

Upaya Agun untuk menghindari kegiatan kampanye politik melalui publikasi massa seperti pemasangan iklan di televisi, radio, pemasangan billboard serta menekankan kepada kegiatan kampanye yang bersifat tertutup, akademis dan dialogis ternyata memperoleh respon negatif dari kalangan praktisi mass media, seperti kalangan wartawan, disamping tuntutan hiburan dari masyarakat terhadap bentuk-bentuk hiburan dalam pesta demokrasi.

Pendapat lain yang berusaha untuk menciptakan kegiatan politik yang bersif dari unsur kegiatan politik uang (money politics) diatas adalah berusaha melacak sumberdana yang membiayai kegiatan kampanye politik tersebut, meskipun kegiatan hiburan yang menghabiskan dana yang cukup besar tidak bisa dihindari dalam pelaksanaan Pemilu di Indonesia, tetapi pelaksanaan kampanye yang bersih dapat diwujudkan melalui upaya melacak sumberdana yang membiayai kegiatan kampanye tersebut.

“Tujuan-tujuan parsial (spihak) yang dilakukan partai politik dalam kegiatan kampanye tersebut tidak semestinya menggunakan uang negara (publik)”, jelas Jhon Parlis, dosen Fakultas Peternakan Unand dalam acara dengar pendapat untuk memperoleh masukan penysusnnan UU Pemilu Pilpres dengan kalangan akademisi tersebut.

Penggunaan sarana hiburan dalam kegiatan kampanye politik merupakan sebuah bentuk baru hubungan ekonomi dengan politik, data-data statistik yang dikemukakan oleh Sayfruddin Karimi memperlihatkan proses marjinalisasi kehidupan ekonomi sebahagian besar masyarakat Indonesia dalam bentuk kesenjangan antara demokrasi prosedural yang berlangsung di Indonesia sejak reformasi dengan realitas kehidupan ekonomi masyarakat yang semakin terpuruuk, kesenjangan tersebut dapat dilihat dari perbandingan data-data statistik pendapat masyarakat pada tahun 1996 dengan tahun 2006 yang memperlihatkan korelasi negartif antara pertambahan pendapatan masyarakat dengan peningkatan kehidupan politik yang lebih demokratis.

Terdapat beberapa langkah yang dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan pelaksanan Pemilu yang efisien dan efektif, diantaranya pelaksanaan waktu Pemilu Pilpres dengan Pemilu Legislatif yang dilaksanakan secara serentak di Indonesia serta upaya merubahan penggunaan kertas dalam pelaksanaan Pemilu dengan penggunaan tinta. Indonesia dan Ghana merupakan dua negara di dunia yang masih menggunakan cara pencoblosan kertas suara dalam pelaksanaan Pemilu, sedangkan negara-negara lain di dunia sudah menggunaan cap tinta, “bagaimana model tinta yang digunakan sekarang dalam proses kajian” jelas Lukman Hakin Saifuddin anggota Pansus Pemilu.

Efektifitas dan efisiensi pelaksanaan Pemilu juga memungkinkan kalangan politisi yang memiliki kemampuan untuk memimpin tetapi tidak memiliki sumberdana yang cukup besar untuk membiayai kegiatan kampanye bisa tampil dalam pelaksanaan Pemilu, hal tersebut juga mengatasi masuknya saudagar (pedagang) dalam kegiatan politik sbagai bentuk demokrasi politik yang berkembang sejak reformasi bergulir di Indonesia.

“Kekalahan Amien Rais dalam pelaksanaan Pemilu Pilpres tahun 2004 sesungguhnya merupakan kekalahan mesin politik Amien Rais yang hanya ditunjang oleh dana kegiatan kamapnye Rp. 32 milyar dibandingkan kubu politisi lain yang menghabiskan dana diatas Rp. 70 milyar”, jelas seorang analisis yang menulis Menangisi Kekalahan Amien Rais dalam pelaksanaan Pemilihan Pilpres 2004. (***)

No comments: